Karakter Kekasih Sejati

Laki-Laki idaman berkata:
Lelaki yang pintar
senantiasa risau dirnya akan membawa fitnah kepada wanita
Lelaki yang pintar tidak akan sekali-kali gentar
apabila seorang wanita bertindak tegas terhadapnya
karena dia sadar
itulah wanita sejati
yang mempunyai harga diri
dan takut kepada Allah.

Pemimpin Non Islam ?

Lebih memilihi Ahok, kendati kita bebeda agama. Selama ini kita sudah dipimpin oleh orang Islam dan tidak menjadikan kita Negara Islam. Bahkan kita seakan-akan kita terjatuh kedalam pernyataan Kaya syariat tapi miskin hakikat. Terlalu banyak ayat yang mensyariatkan kehidupan islami, tapi terkadang nilai keislamaan itu lebih diterapkan pada agama nono Islam. Semoga dia terpilih dan akan menajdi sejarah baru dalam Kepemimpinan Indonesia… mari kita rasakan peruhaban dan mengarah ke masa depan Indonesia yang Lebih bermartabat, dan lebih mengakkan hukum keadilan dna mengendapakan hak dan kewajiban Rakyat RI.

Metodologi Penafsiran Dr. Aisyah Abdurrahman (Bintu Syathi’)

Oleh : Namedia ( Mahasisiswi Tafsir STFI Sadra)
a. Biografi
Dr. Aisyah Abdurrahman atau yang biasa dikenal dengan nama pena Bintu Syathi’ dilahirkan di Dumyat pada tanggal 6 November 1913 M/ 6 Dzulhijjah 1331 H dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ia hidup ditengah-tengah keluarga yang religius dan konservatif. Syeikh Ibrahim ad-Damhuji al Kabir, kakek dari garis keturunan sang ibu merupakan salah satu ulama besar Azhar.
Berlatar belakang keluarga agamis, ia sangat tertarik kepada ilmu-ilmu keislaman. Sejak usia 5 tahun, ia telah menyelesaikan hafalan Alqurannya. Setelah menyelesaikan studi ilmu pendidikan di Madrasah Ta’lîmiyyah, Thanta tahun 1928, ia pun berinisiatif untuk hijrah ke kota Kairo.
Dengan posisi sebagai seorang penulis di sebuah lembaga di Giza, ia pun memulai karirnya dengan banyak melayangkan tulisan ke beberapa media massa terkenal di Mesir. Di antaranya majalah Nahdhah Islamiyyah, Ahram, dll. Dari sinilah mulai mencuat nama besar Bintu Syathi’. Nama Syathi’ ia ambil dari daerah kelahirannya, tepi pantai. Karena itu, ia menamai dirinya Bintu Syathi’ yang berarti Putri Tepi Pantai. Sengaja ia memakai nama pena sebagai bentuk penyamaran untuk menghindari keberatan sang ayah ketika membaca artikel-artikelnya.
Tahun 1936, ia menyelesaikan studi S1 di Universitas Cairo, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab. Kemudian merampungkan program magister di universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941 dengan judul tesis al Hayât al Insâniyyah ‘Inda Abi ‘Ala’. Di universitas tersebut, Bintu Syathi’ dipertemukan dengan dosen pujaan hatinya, Amin Khuli, yang kemudian menjadi suaminya. Suaminya memberi pengaruh besar terhadap pemikiran Bintu Syathi’. Tahun 1950, ia pun merampungkan studi doktoralnya dengan DR. Thaha Husein sebagai dosen penguji. Dengan judul disertasi Risâlatul Ghufran Li Abil ‘Ala’, Bintu Syati’ meraih predikat cumlaude.
Ia lalu mengabdikan diri sebagai dosen di beberapa universitas, di antaranya; Universitas Qarawiyyin, Maroko; Universitas Cairo, Mesir; Universitas ‘Ain Syams, Mesir; Universitas Umm Durman, Sudan. Ia pun banyak memberikan kuliah dan ceramah di hadapan para sarjana di Roma, Al Jazair, New Delhi, Bagdad, Kuwait, Yerrusalem, Rabat, Fez, Khartoum, dll.
Bintu Syathi’ sering dinobatkan sebagai pakar Ilmu Adab oleh beberapa institusi, Pemerintah Mesir (1978), Pemerintah Kuwait (1988), Raja Faishal (1994).
Ide-ide brilian sosok perempuan ini tak ayal menarik perhatian beberapa penerbit dan media massa untuk menerbitkan karya-karya beliau. Tema-tema yang diangkat lebih banyak berkisar tentang sastra, sejarah dan tafsir Alquran. Ia juga menulis tentang isu-isu yang banyak berkembang di dunia, seperti tentang posisi perempuan yang telah mengalami perubahan, perjuangan orang-orang Arab memerangi imperialisme Barat dan Zionisme. Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang Dirasah Islamiyyah, Fiqh, Tafsir, Adab, dll yang telah terbit di Mesir dan beberapa negara Arab.
Tahun 1963 kitab tafsirnya, At-Tafsīr al-Bayāni lil Qur’ān al-Karīm, diterbitkan. Di dalam pendahuluan tafsirnya, ia mengemukakan bahwa metode yang ia terapkan ini untuk memecahkan persoalan kehidupan dunia sastra dan bahasa. Ia sering menyampaikan kajian terhadap persoalan ini hingga di berbagai kongres internasional. Misalnya, dalam Kongres Orientalis Internasional di India tahun 1964 dengan topik pembahasan “Musykilāt at-Tarāduf al-Lughawi fī Ḍau’it Tafsīril Bayāni lil Qur’ānil Karīm” ia menjelaskan bahwa bagaimana hasil penelitian cermat terhadap kamus lafazh-lafazh Alquran dan dalālah (penunjukan makna)-nya di dalam konteksnya. Hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa Alquran menggunakan sebuah lafazh dengan dalālah tertentu, yang tidak mungkin dapat diganti dengan lafazh lain yang mempunyai makna sama seperti yang diterangkan oleh kamus-kamus bahasa dan kitab-kitab tafsir, baik jumlah lafazh yang dikatakan sebagai murādif (sinonim) itu sedikit maupun banyak.
Karya-karya Bintu Syathi’ di antaranya:
– Abu al-‘Ala al-Ma’ari, al-Khansa’ dan penyair-penyair lain seperti: al-Hayah al-Insaniyyah ‘Inda Abi al-A‘la yang merupakan tesis yang ditulisnya untuk mendapat gelar Master di Universitas Fuad I Kairo pada tahun 1941
– al-Gufrān li Abū al-A‘la al-Ma’āri yang merupakan disertasi yang ditulisnya untuk mendapat gelar Doktor di Universitas Fuad I Kairo pada tahun 1950
– Ard al-Mu’jizat
– Rihlah fi Jazirah al-‘Arab (1956)
– Umm al-Nabiy (1961)
– Sukainah bint al-Husain (1965)
– Batalat al-Karbala’ (1965)
– Ma‘a al-Mustafa(1969)
– Al-Tafsīr al-Bayāni lil Qur’ān al-Karīm jilid I (1962)
– Manhaj al-Tafasir al-Bayani (1963)
– Banat al-Nabiy (1963)
– Muskilatu al-Taradufu al-Lughowi (1964)
– Kitab al-‘Arabiyah al-Akbar (1965)
– Tafsir Surat al-‘Asr (1965)
– Al-Qur’an Wa Hurriya al-Iradah (1965)
– Kitābunā al-Akbar (1967)
– Al-Mafhūm al-Islāmiy li Tahrīr Al-Mar’ah (1967)
– Qodhiyah al-I’jaz (1968)
– Turasunā Baina Mādin wa Hādirin (1968)
– Jadid Min al-Dirasah al-Qur’aniyah (1968)
– A‘dā’ al-Basyar (1968)
– Al-Ab‘ad al-Tārīkhiyyah wa al-Fikriyyah li Ma’rakatina (1968)
– I’jāz al-Bayāni al-Qur’ān (1968)
– Lugatuna wa al-Hayāh (1969)
– Manhaj al-Dirasah al-Qur’aniyah (1969)
– Al-Tafsīr al-Bayāni lil Qur’an al-Karīm Jilid II(1969)
– Maqāl fi al-Insān: Dirāsah Qur’āniyyah (1969)
– Al-Qur’ān wa al-Tafsīr al-‘Asri (1970)
– Al-Qur’an Wa Huququ al-Insan (1971)
– Min Asrari al-Arabiyah Fi al-Bayani al-Qur’aniyah (1972)
– Al-Israiliyyat Wa al-Tafasir (1972)
– Al-Syakhsiyyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Qur’āniyyah (1973)
– Baina al-‘Aqidah wa al-Ikhtiyar (1973).
– Nisa’ al-Nabiy (1973)
– Al-Qur’an Wa al-Fikr al-Islami al-Ma’ashir (1975)
– ‘Alā al-Jisr: Ustūrah al-Zaman
– Tarajum Sayyidat Bait al-Nubuwah Radiyallah ‘Anhunna (1987)
b. Metode Penafsiran Alquran
Metodologi penafsiran Bintu Syathi’ memang berlandaskan pada pemikiran suaminya, Amin al-Khulli. Maka dari itu, pembahasan metodologi tafsir ini tak bisa dipisahkan dari pembahasan pemikiran al-Khulli tentang metode tafsir yang ia gagas. Menurut Nur Kholis Setiawan, sulit untuk memahami makna Alquran tanpa menerapkan metode literer seperti yang diusung Amin al-Khulli. Karena, Amin al-Khulli mendekati Alquran dengan ilmu bahasa Arab dan sastranya sebagai pendekatan dalam memahami makna Alquran, kitab suci berbahasa Arab. Al-Khulli menyebut pendekatan yang ia terapkan ini sebagai pendekatan literer. Pendekatan ini memungkinkan untuk menyingkap pesan intrinsik Alquran dan menolak pengaruh pemahaman dari luar. Sejalan dengan ini, Amin al-Khulli membantah tafsir ‘ilmi yang tidak memiliki relevansi dengan aspek bahasa dan sastra (adabi).
Beberapa argumen al-Khulli mengenai penolakannya terhadap tafsir ilmiah modern, yaitu pertama, ketidak-kokohan leksikologis, makna-makna kata Alquran tidak menghasilkan pergeseran di bidang ilmu pengetahuan modern (baca: ilmiah/sains); kedua, sisi filologis tafsir-tafsir ilmiah tidak kokoh, Alquran ditujukan kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW dan orang-orang Arab karenanya, tidak memuat segala sesuatu yang tidak bisa mereka pahami; ketiga, secara teologis tafsir ilmiah kurang kokoh, Alquran mengajarkan agama, membawa pesan etis dan keagamaan. Alquran berkaitan dengan pandangan manusia mengenai hidup, bukan dengan pandangan-pandangan kosmologisnya. Argumen terakhirnya al-Khulli yaitu penekanan ketidak-mungkinan secara logis bahwa Alquran, kuantitas teks yang terbatas dan statis tidak berubah, dapat memuat pandangan-pandangan yang bisa berubah dari para ilmuwan abad ke-19 dan abad ke-20.
Al-Khulli menyatakan bahwa secara ideal studi tafsir Alquran harus dibagi menjadi dua bagian: 1) Dirāsat mā hawl al-tafsīr, tentang latar belakang Alquran, sejarah kelahirannya, masyarakat di mana ia diturunkan, bahasa masyarakat yang ditujunya, dll; 2) Dirāsat Al-Qur’ān nafsihi, tentang penafsiran ayat-ayat Alquran itu sendiri dengan melihat studi-studi terdahulu. Ia menganggap penting untuk menetapkan pertama kali, sejauh mungkin makna literal yang benar dengan menggunakan seluruh bahan sejarah dan bahan lain yang tersedia. Sekalipun tidak mencari manfaat rohaniah dan tanpa memperhatikan agama melalui Alquran tersebut. Alasannya, bahwa Alquran datang kepada manusia dalam sebuah pakaian Arab (fī thawbih al-‘Arabī) karena itulah untuk memahaminya sesempurna mungkin, kita harus mengetahui sejauh mungkin mengenai bangsa Arab dan zamannya tersebut. Alquran seharusnya dipahami dengan cara bagaimana para pendengarnya yang pertama (Nabi Muhammad SAW) memahaminya.
Penekanannya mengenai tugas kedua tafsir-tafsir Alquran (penafsiran teks itu sendiri dengan menggunakan studi-studi terdahulu) adalah sama pentingnya. Pertama, ia sangat mendorong penulisan tafsir Alquran dengan memperhatikan ayat di mana Alquran membicarakan suatu subjek dan tidak membatasi pada penafsiran satu bagian saja dengan mengabaikan pernyataan-pernyataan lain Alquran terhadap topik yang sama. Kedua, sangat diperlukan studi yang cermat atas setiap lafazh Alquran, tidak hanya dengan bantuan kamus-kamus klasik melainkan juga, pada tahap pertama, dengan bantuan adanya paralel Alquran dari lafazh ataupun referensi yang sama. Terakhir, mufasir Alquran seharusnya menganalisis bagaimana Alquran menggabungkan lafazh-lafazh ke dalam kalimat dan hendaknya berusaha menjelaskan efek psikologis bahasa Alquran terhadap para pendengarnya.
Penafsiran al-Khulli ini teraplikasi seluruhnya dalam tafsir karya Bintu Syathi’. Bintu Syathi’ bertujuan menerapkan program al-Khulli ini pada beberapa surah pendek Alquran yang memiliki topik yang sama yaitu memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah esensial dakwah Islam (al-usūl al-kubrā ad-da’wa al-Islamiyya). Bintu Syathi’ berusaha menjelaskan metode tafsir yang berbeda dengan membicarakan teks-teks Alquran dimana teks-teks tersebut bisa menjelaskan dirinya yang nantinya membebaskan pemahaman Alquran dari elemen-elemen asing dan cacat yang dibawa ke dalam kefasihan Alquran.
Bintu Syathi’ menunjukkan kehati-hatiannya dalam menafsirkan terutama pada bagian-bagian tertentu (misalnya dua topik pada surah ad-Ḍuḥa tentang qasam dan asbāb an-nuzūl) agar tidak mengarahkan perhatian pembaca pada gagasan-gagasan tidak lazim dan tidak konvensional yang secara tidak langsung mempunyai kaitan dengan gagasan-gagasannya mengenai metode tafsir Alquran yang baik.
Dalam karya-karyanya, tafsir, buku-buku dan tulisan-tulisannya, sifat letral dan ketiadaan karakter ideologi dan keutamaan religius menjadi ciri khas pemikirannya. Ia menyatakan dalam tafsirnya bahwa setiap bahasa memiliki masterpieces-nya sebagai contoh terbaik dari seni pengucapannya. Ia mengeluhkan metode tafsir sastra yang menempatkan Alquran sebagai teks sastra, nash adabi, yang sampai sekarang masih terkurung oleh domain tafsir tradisional.
Di awal setiap karya tafsirnya, ia selalu mengemukakan suatu bahasan rinci tentang lafazh-lafazh yang dipakai di dalam teks Alquran dan memberikan kemungkinan-kemungkinan maknanya. Bagi tujuan ini, ia menyelaraskannya dengan bahan-bahan yang relevan dari tafsir-tafsir Alquran dan kamus-kamus bahasa Arab klasik. Adanya paralel makna dalam Alquran baginya merupakan unsur yang mengarahkan ke pencarian lebih lanjut terhadap satu makna maupun makna lainnya. Diletakkan pada konteksnya, ia menjelaskan bahwa lafazh apa pun hanya mempunyai satu makna sekalipun kamus memberikan selusin ataupun lebih makna lafazh tersebut.
Studi-studi atas karya Amin al-Khulli dan Bintu Syathi’ ini bisa dikatakan mengungguli studi tafsir-tafsir klasik karena kebanyakan tafsir filologi modern hanya membatasi dengan meniru apa yang dilakukan az-Zamakhsyarī (w. 1144) atau lebih buruk lagi meniru saja salah satu dari karya tersebut. Ketertarikan terhadap studi filologi Alquran sangat besar meskipun, terdapat sedikit sekali penelitian independen atasnya. Tetap saja harus diingat dan dijadikan rujukan bahwa bagaimanapun, rata-rata ulama Muslim modern Mesir memiliki latar belakang pendidikan dasar dan menengahnya memahami dengan baik masalah filologi yang dimunculkan Alquran.
Metodologi kajian sastra tematik Alquran yang diterapkan Bintu Syathi’ disimpulkan dalam empat pokok pikiran: Pertama, mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat. Untuk dipelajari secara tematik. Dalam buku ini beliau tidak memakai metode kajian tematik murni seperti itu. Namun, dengan pengembangan induktif (istiqrâ’i). Mula-mula beliau gambarkan ruh sastra tematik secara umum. Kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlily (analitik) yang cenderung menggunakan maqtha’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang menyebut jumlah kata. Adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggunaannya. Terakhir beliau simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua, memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an pada waktu itu. Dikorelasikan dengan studi asbab an-nuzul. Meskipun beliau tetap menegaskan kaedah al-ibrah bi’umûm al-lafzh lâ bi khusush as-sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafazh bukan dengan kekhususan sebab-sebab turun ayat).
Ketiga, memahami dalâlah al-lafzh. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafazh-lafazh al-Qur’an. Apakah dipahami sebagaimana zhahirnya ataukah mengandung arti majâz (kiasan) dengan berbagai macam klasifikasinya. Kemudian ditadabburi dengan siyaq khâsh (hubungan-hubungan kalimat khusus) dalam satu surat. Setelahnya mengorelasikannya dengan siyâq ’âm (hubungan kalimat secara umum) dalam al-Qur’an.
Keempat, memahami rahasia ta’bîr dalam Alquran. Hal ini sebagai klimaks kajian sastra. Dengan mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan yang ada di beberapa buku tafsir yang mu’tamad. Tanpa mengesampingkan posisi gramatikal arab (i’rab) dan kajian balâghah.
Contoh penafsiran:
Salah satu contoh tafsir sastra tematik Bintu Syâthi’, surat al-Zalzalah. Dibuka dengan tema umum; al-yaum al-âkhir. Kemudian beliau mengkalisifasikannya sebagai surat Madaniyyah yang berada pada urutan keenam. Surat Madaniyyah seperti ini justru menekankan aspek akidah dan iman pada hari akhir. Memberikan gambaran sebaliknya, surat-surat Makkiyyah juga bukan berarti tak memuat tasyri’ dan penjelasan hukum.
Mukadimah singkat ini segara beliau lanjutkan dengan malâmih (outward) sastra tematik dalam surat ini. Pertama, ayatnya pendek–pendek. Ini mengindikasikan bagi pendengar adanya keseriusan dan pesan yang urgen yang tak bertele-tele. Kedua, dalam ungkapan yang singkat seperti ini pun masih ada pengulangan-pengulangan untuk penekanan-penekanan tertentu. Ketiga, kata-kata yang dipilih pun berpengaruh kuat seperti zalzalah (bergoncang) untuk menunjukkan kedahsyatan. Ungkapan serupa juga ada di surat-surat lain seperti al-ghasyiyah, ath-thammah, al-waqi’ah dan lain-lain. Keempat, disebut dalam bentuk pasif. Tanpa menyebutkan subyek (pelaku)-nya. Ini memberi tekanan pada perhatian kepada kejadiannya. Bukan berarti menafikan keberadaan pelakunya. Beliau juga menyebutkan hal serupa di beberapa ayat yang tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Dalam hal ini penakwilan fâ’il (subyek) tidak dibenarkan. Karena sudah jelas, yaitu Allah. Pesan yang disampaikan kepada manusia, bahwa bumi yang sedang dihuni saat ini memiliki potensi bergoncang kapan saja. Goncangan yang berbeda-beda yang bahkan bisa berakibat kehancuran yang berakhir dengan kefanaan.
Setelah itu, Bintu Syâthi’ merincinya tiap ayat. Dari sejak penyebutan arti bahasa, pemilihan kata zalzalah (baik kata zulzilat maupun kata zilzâlahâ), kemudian pengungkapan dalam bentuk madhi (waktu lampau) yang bermaksud suatu kepastian dan penggunaan kata syarat idza (apabila).
Pada ayat selanjutnya beliau menguraikan penggunaan kata aktif akhrajat (mengeluarkan) dan bumi sebagai pelakunya. Ini merupakan jenis kiasan. Setelah itu merinci penafsiran ’atsqâl (beban-beban berat yang dikandung bumi).
Pada ayat selanjutnya, titik tekannya adalah keheranan manusia. Baik yang beriman maupun yang kafir. Sebagian mufasir ada yang berpendapat orang kafir saja. Di sini beliau men-tarjih pendapat pertama. Dikarenakan tak ada dalil yang mengkhususkan keumuman ayat ini.
Pertanyaan ini pun tanpa jeda langsung dijawab pada ayat selanjutnya. Beliau juga sedikit menyitir pendapat para ahli tafsir tentang ”penceritaan” bumi. Sebagian tetap menjadikannya ungkapan kiasan. Sebagian lagi berpendapat sebaliknya, bahwa memang benar-benar hari itu bumi bisa berbicara. Dalam kesempatan ini beliau menyebutkan pendapat beberapa mufasir, diantaranya; ath-Thabary, az-Zamakhsyary, Abu Hayyan, dan at-Thabursy.
Pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan timbul pun ditimpali dengan ayat selanjutnya. Bahwa ini semata adalah titah pencipta manusia, Tuhan yang mengutus Muhammad pada kaumnya dan seluruh manusia setelahnya. Dalam ayat ini beliau agak panjang lebar berbicara masalah wahyu.
Pesan penting berikutnya adalah penggunaan kata yauma`idzin (pada hari itu). Untuk menunjukkan posisi dan keberadaan manusia setelah terpendam di alam kubur dan dibangkitkan kemudian. Menurut Sayyid Quthb ini adalah bagian penggambaran penokohan dan latar. Seolah-olah pembaca dan pendengarnya seperti berada di depan sebuah film dan pertunjukan yang benar-benar nyata di depannya. Beliau kembali mengungkap rahasia pengungkapan dengan kata yashdur (keluar) bukan dengan sinonim lainnya yakhruj atau yansharif. Lebih jelas lagi setelah ada penjelasan bagaimana cara keluarnya manusia dari kuburnya. Yaitu bermacam-macam; berbeda-beda; berpisah-pisah; berpencar-pencar. Keduanya beliau pakai. Bermacam-macam dan berbeda sesuai amalannya di dunia. Sedang berpencar dan berpisah-pisah, dikarenakan kondisi yang demikian mencekam. Menanti sebuah pengadilan agung yang sangat menentukan nasib mereka.
Bagaimana balasan mereka setelah itu diterangkan dalam dua ayat penutup. Kedua ayat ini memiliki muqâbalah (perbandingan) yang jelas sekaligus menunjukkan keindahan gaya bahasa. Beliau juga menyebutkan rahasia penggunaan kata ”mitsqâla dzarrah”. Di samping menyebutkan perbedaan madzhab dalam memahami ayat ini. Baik para mutakalim maupun firāq yang ada. Ada Zamakhsyari sebagai sampel pemikiran Mu’tazilah. Abu Hayyan, mewakili Dhahiriyyah. Kemudian at-Thabursy, mufamsir Syi’ah. Polemik ini muncul saat ada pertanyaan, kebaikan yang dilakukan orang kafir yang dijatuhkan dengan kekafirannya. Sebanyak apapun kebaikan itu. Bahkan beliau juga tak melewatkan pendapat Syeikh Muhammad Abduh, salah seorang tokoh yang dikaguminya.
Pada akhirnya, hanya Allahlah yang berhak menentukan balasan ini. ”Dia memberi ampun kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mengadzab siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 48: 14)

Penutup
a. Kesimpulan
Bintu Syathi’ akhirnya benar-benar menerapkan sebuah metodologi menarik dalam memahami makna Alquran. Penafsiran tradisional kurang memuaskan Bintu Syathi’. Untuk itu, ia mulai merangkai metode pendekatan yang sebelumnya telah diusung oleh Amin al-Khulli, metode pendekatan sastra. Melalui pendekatan ini diharapkan Alquran bisa dipahami maknanya dengan baik. Tidak hanya memaksakan pemikiran individual.
Pengelompokkan ayat-ayat sesuai dengan topik yang sama lalu, mengidentifikasi kategori ayat tersebut. Tak terlewat, ia pun menambahkan referensi makna-makna kata berdasarkan kamus atau pun penafsiran para mufasir terdahulu tentang arti ayat tersebut. Setelah itu, menentukan makna yang tepat bagi konteks ayat tersebut.
Alquran sebagai kitab Arab terbesar harus dilihat dari segi ke-Arab-annya dan tidak bisa dijelaskan dengan konteks yang jauh di luar sisi ke-Arab-an tersebut. Inilah yang menjadi karakter tafsirnya, bersifat letral dan ketiadaan karakter ideologi dan keutamaan religius. Metode pendekatan tafsir seperti ini sangat penting untuk diperhatikan dan dikaji lebih lanjut.

b. Daftar Pustaka

Dr. Aisyah Abdurrahman, At-Tafsīr al-Bayāni lil Qur’ān al-Karīm al-juz’ul awwal wa tsāniy. Maktabah Dirasah Adabiyah
J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern. 1997. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Mohammad Nur Kholis Setiawan, Literary Interpretation of The Quran a Study of Amin al-Khulli’s Thought. Pdf
Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān. Studi Ilmu-ilmu Aquran. 2011. Bogor: Litera AntarNusa

Bintu Syathi, Aisyah Abdurrahman

Sejarah Pengumpulan Teks al-Qur’an dalam Bahasan W. M. Watt

Pendahuluan
Literatur yang membahas mengenai ulum al-Qur’an (seputar ilmu al-Qur’an) tidak hanya ditulis oleh sarjana Muslim saja, tidak sedikit sarjana non Muslim pun tertarik untuk mengkajinya, atau mereka yang sering disebut orientalis. Salah satu yang menjadi kajian menarik yang ditulis oleh para orientalis adalah seputar sejarah al-Qur’an. Reaksi yang dihasilkan dari karya para orientalis pun sangat beragam, ada yang menolak, namun tidak sedikit yang “menerima” dengan pertimbangan sebagai hasil karya penelitian akademis.
Adalah Syamsuddin Arif dalam karyanya “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran” yang membeberkan keberatannya atas tulisan-tulisan orientalis terhadap studi keIslaman. Menurutnya ketidaklayakan hasil karya sebagian orientalis adalah ketika mereka mempertanyakan otentitas al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam. Lebih lanjut Syamsuddin juga menyebut sikap anti-Islam yang ditujukan pada sebagain kalangan orientalis, sehingga mereka “menyerang” al-Qur’an dan mempertanyakan kenabian Muhammad. Nama-nama seperti Gotthelf Bergstraser, Otto Pretzl dan Arthur Jeffery dianggap telah melakukan usaha-usaha untuk mengubah mushaf Usmani.[1] Namun dalam kajian kesejarahan al-Qur’an hal ini bisa saja dijadikan sebuah kajian akademik. Kritik serta teorinya yang digunakan pun bisa runtuh.
Tidak semua kalangan orientalis memiliki misi untuk menyerang Islam melalui kajian kritis terhadap al-Qur’an. Karena mereka juga meneliti dalam rangka kajian akademis. Sehingga, bagi penulis, tidak perlu ada kecemasan yang berlebihan dalam merespon tulisan dan hasil karya orientalis. Kritik yang mereka ajukan juga sangat terbuka untuk dikritik kembali. Dalam tulisan ini penulis berusaha menghadirkan pandangan William Mongomery Watt terhadap sejarah pengumpulan al-Qur’an serta tawaran-tawaran kritik yang ia ajukan. Kemudian pandangan kesejarahan al-Qur’an sarjana lainnya seperti Mutafa A’azami dan Taufik Adnan Amal.
Sekilas Tentang W. M. Watt
William Montgomery Watt lahir 14 Maret 1909 di Ceres, Fife, Skotlandia. Ia adalah seorang pakar studi-studi keIslaman dari Britania Raya, dan salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat.
Montgomery Watt adalah seorang profesor studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Ia juga merupakan visiting professor pada Universitas Toronto, College de France, Paris, dan Universitas Georgetown; serta menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Universitas Aberdeen. Dalam hal kerohanian, Watt adalah pendeta pada Gereja Episkopal Skotlandia, dan pernah menjadi spesialis bahasa Uskup Yerusalem antara tahun 1943-1946. Ia menjadi anggota gerakan ekumenisme[2] “Iona Community” di Skotlandia pada 1960. Beberapa media massa Islam pernah menjulukinya sebagai “Orientalis Terakhir”. Montgomery Watt meninggal di Edinburgh pada tanggal 24 Oktober 2006, pada usia 97 tahun.[3]
Pengumpulan Teks al-Qur’an Perspektif W. M. Watt
Buku yang berjudul “Bell’s Introduction to The Qur’an”, sebenarnya merupakan karya Ricarh Bell. Namun Watt memandang ada beberapa hal yang harus disempurkan atas karya tersebut. Dalam pengantar buku tersebut, Watt menegaskan bahwa buku tersebut adalah karya Bell. Dalam beberapa alinea, Watt tidak melakukan perubahan. Tetapi terkadang ia tidak segan-segan melakukan kritik pandangan-pandangan Bell secara terus terang.[4]
Menurut W. M Watt dalam bukunya tersebut, sejarah pengumpulan mushaf al-Qur’an dimulai sejak masa khalifah Abu Bakar kemudian dikodifikasi ulang pada masa Utsman. Pengumpulan tersebut berawal ketika terjadi perang Yamamah yaitu perang riddah. Banyak para penghafal al-Qur’an yang gugur. Sehingga sahabat Umar mengusulkan agar segera dilakukan pengumpulan al-Qur’an karena kekhawatiran akan lebih banyak lagi penghafal al-Qur’an yang gugur sedangkan al-Quran belum dibukukan. Abu Bakar sempat ragu atas usul Umar tersebut, karena tidak ada wewenang dari Nabi. Namun pada akhirnya ia pun menyetujui usulan Umar dan meminta Zaid bin Tsabit untuk menjadi panitia penulisan, karena ia salah satu juru tulis “sekertaris” Nabi. Setelah proses penulisan selesai, Zaid menyerahkan pada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar meninggal diserahkan pada Umar dan ketika Umar meninggal diserahkan pada putrinya, Hafsah, yakni janda Nabi.
Watt menyoroti bahwa cerita di atas dapat dikritik atas dasar beberapa alasan. Pertama, bahwa sampai Nabi wafat tidak catatan sah mengenai wahyu. Lebih lanjut Watt juga mengemukakan bahwa ada beberapa versi mengenai gagasan mengumpulan Qur’an, apakah dimulai pada masa Abu Bakar atau Umar. Kemudian, dengan mengutip pendapat Freidrich Schawally, Watt juga menyinggung bahwa para korban yang gugur dalam perang Yamamah adalah orang yang baru beriman (baru masuk Islam) bukan para huffadz. Kedua, pengumpulan al-Qur’an secara formal dan absah. Hal itu didasarkan bahwa Qur’an yang berada diberbagai daerah juga dianggap absah. Ketiga, Watt juga meragukan bahwa suhuf yang berada ditangan Hafsah adalah salinan resmi hasil revisi/pengumpulan Zaid, karena jika demikian, hal ini mustahil bila suhuf tersebut berpindah ke tangan orang lain di luar kepemilikan resmi, meskipun Hafsah adalah putri khalifah. Dari poin-poin kritik yang ditawarkan Watt, ia memberi ulasan bahwa tidak ada kegiatan pengumpulan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar.[5] Pendapat lain yang disebutkan Leone Caentani pun juga demikian. Ia menganggap bahwa hadith yang menerangkan pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar adalah upaya untuk menjustifikasi pengumpulan mushaf yang dilakukan Utsman.[6]
Kritik yang ditawarkan Watt tentu tidak dapat dibenarkan secara langsung. Karena banyak perbedaan pendapat akan hal tersebut, seperti yang dikemukakan M.M. A’zami. Sarjana Muslim yang konsen terhadap sejarah al-Qur’an. A’zami mengemukakan bahwa bahwa pasca pengumpulan mushaf selesai, Abu Bakar menyimpan suhuf tersebut sebagai arsip Negara di bawah pengawasannya. Tentunya suhuf tersebut menjadi dokumen Negara, bukan perorangan, Hafsah. Mengenai kegiatan pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar yang menjadi keraguan Watt pun juga berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh A’zami. Bahwa Abu Bakar lah yang memberi instruksi pada Zaid, agar jika ada yang hendak pengumpulkan mushaf maka ia harus membawa dua saksi. Karena hal ini akan menjamin keotentitasan al-Qur’an.[7] Maka jelaslah bahwa kegiatan pengumpulan mushaf dimulai pada masa khalifah Abu Bakar.
Sementara Taufik Adnan Amal, salah seorang yang juga menulis tentang sejarah al-Qur’an (Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an) memberikan beberapa perbedaan pendapat mengenai siapa khalifah yang pertama mengumpulkan al-Qur’an. Tentu, berbeda dengan M.M. A’zami.Taufik memaparkan pendapat yang menyebut bahwa khalifah Ali lah yang pertama kali melakukan kegiatan pengumpulan al-Qur’an, hal tersebut didasarkan atas kedekatan Ali dengan Nabi. Meskipun sahabat lainnya juga demikian. Taufik mengutip riwayat al-Zanjani bahwa suatu ketika Nabi berkata pada Ali, “Hai Ali, al-Qur’an berada di belakang tempat tidurku, di atas suhuf. Ambil dan kumpulkanlah, jangan disia-siakan seperti orang Yahudi yang menyia-nyikan Taurat”. Perintah Nabi inilah yang kemudian membuat Ali tidak keluar rumah ketika Nabi wafat. Ketika orang-orang sedang disibukkan memilih khalifah pengganti, Ali menghabiskan waktu mengumpulkan mushaf. Tatakala Abu Bakar terpilih dan dibaiat menjadi khalifah, barulah Ali keluar seraya menunjukkan kepada para sahabat al-Qur’an yang sudah ia kumpulkan.
Selain itu, Taufik juga menampilkan berbagai pendapat bahwa yang menggagas sekaligus mengumpulkan al-Qur’an adalah klalifah Umar. Dimana ketika Umar mengekspresikan kegelisahannya tatkala mendengar korban jatuh pada perang Yamamah dengan mengucapa innalillahi wa inna ilai rajiun. Maka Umar segera mengumpulkan al-Qur’an.[8] Inilah yang menjadi pijakan pendapat bahwa khalifah Umar lah yang mengumpulkan al-Qur’an pertama kali.
Pendekatan W. M. Watt dalam Ulasan Sejarah al-Qur’an
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka secara tidak langsung memberikan metode pendekatan baru dalam setiap disiplin ilmu. Demikian juga yang terdapat dalam kajian seputar ilmu al-Qur’an dan tafsir. Terdapat berbagai pendekatan dalam kajiannya.
Penulis melihat bahwa Watt menggunakan pendekatan sosio-historis dalam menjelaskan sejarah awal pengumpulan mushaf. Dengan melihat keadaan yang menyebabkan dilakukannya kegiatan pengumpulan dan dengan melihat proses sejarah panjang, Watt berusaha menghadirkan kajian kritis terhadap sejarah pengumpulan mushaf.
Penutup
Menurut penulis, pandangan Watt terhadap sejarah pengumpulan al-Qur’an serta kritik yang ia tawarkan tidak terlalu menyimpang dari mainstream pendapat mayoritas. Riwayat yang menyebutkan bahwa pada masa khalifah Abu Bakar lah pengumpulan mushaf mulai dilakukan merupakan riwayat mayoritas. Al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan menampilkan beberapa hadis yang menceritakan ketika Abu Bakar meminta Zaid mengumpulkan mushaf al-Qur’an.[9] Keragu-raguan yang dimunculkan Watt mengenai penggagas pengumpulan mushaf juga terjawab oleh karya-karya yang muncul setelahnya. M. M. A’zami memberikan banyak riwayat penguat, bahwa pengumpulan mushaf di mulai pada masa Abu Bakar.[10]
Uraian Watt mengenai sejarah pengumpulan mushaf al-Qur’an tentu memberi wawasan baru bagi pegiat kajian ulum al-Qur’an. Terlepas dari berbagai kontroversi yang mengemuka dan anggapan “miring” terhadap kajian keIslaman yang dilakukan kalangan orientalis, tentunya kajian mereka membuka mata pembaca dalam memahami teks-teks keagamaan.
Dalam menyikapinya, sebagaimana yang telah penulis mamaparkan di dalam pendahuluan, Tidak semua kalangan orientalis memiliki misi untuk menyerang Islam melalui kajian kritis terhadap al-Qur’an. Sehingga, bagi penulis tidak perlu ada kecemasan yang berlebihan dalam merespon tulisan dan hasil karya orientalis. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan doktrin mayoritas-minoritas, pembaca dapat memilih pendapat yang lebih mutawatir.

[1] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani, 2008). Hlm 5-7
[2] Gerakan yang menuju kepada persatuan seluruh umat Kristen serta gereja-gereja mereka, melalui organisasi internasional antarsekte yang bekerjasama tentang soal-soal keagamaan yang mengenai kepentingan bersama.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/William_Montgomery_Watt. diunduh pada 22 september 2011
[4] W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’an, (Edinburgh University Press, 1970). Hlm v
[5] W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’an, Hlm 40-1
[6] Adnin Armas, Metode Bibel Dalam Studi al-Qur’an Kajian Kritis, (Depok: Depok: Gema Insani, 2005). Hlm 86-7
[7] Muhammad Mustafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi, (Depok: Gema Insani, 2005). Hlm 84-6
[8] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001). Hlm 134-143
[9] Badruddin Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasy, al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006) hml 164
[10] Muhammad Mustafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi, Hlm 87

The Dignified Women

Learn Patience from Asiyah
Loyality from Khadijah
Purity from Maryam
Sincerity from ‘Aishah
Steadfastness from Fathimah.

“Pertemuan Mesra dengan Sang Khaliq”

“Alangkah cepatnya semenit dibanding dengan sejam. Alangkah cepatnya sejam dibandingkan dengan sehari dan pada akhirnya alangkah cepatnya perjalananhari-hari minggu bulan dan tahun itu dibanding dengan kehadiran usia kita”.

Kemanakah gerangan kita akan diantarkan oleh pergantian malam dan siang bulan dan tahun itu? ada yang berkata kita berjalan dan terus berjalan dan akhirnya kita punah tiada lagi,Tapi itu jawaban mereka yang tidak beriman. agama mengatakan bahwa kita berjalan menuju Tuhan. al-Qurna menegaskan “ al-insyiqaq :6:
“Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya”.Manusia di dunia ini baik disadarinya atau tidak adalah dalam perjalanan kepada Tuhannya. Dan bahkan. pada hakikatnya setiap detik nafas ini, Allah Swt memperingatkan hambanya dengan firmannya. innalilihai wa innailaihi rajiun.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk mengingatkan bahwa pertemuan dengan Tuhan ada pertemuan dengan mesra dan tidak mesrah, siapa yang ingin pertemuan dengan Tuhan dengan pertemuan mesrah, maka hendaklah ia beramal sholeh, tidak mempersekutukannya, demikian firmannya.

Antara Cinta Dan Tanggung Jawab

Apa hakikat Cinta ??
Bahtera kehidupan ini dimulai dari cinta. Setelah kita dianugerahi cinta, maka pada saat itu pula Tuhan menyertakan kepada hamba-hambanya  dengan seperangkat tanggung jawab sesuai kadar kemampuan manusia, sebagai bentuk aktualisasi janji yang pernah diikrarkan di alam primordial. Apa, bagaimana,  idealnya kita menjalani tanggung jawab, semua itu kembali pada pribadi masing-masing insan atas dasar apa dia bertindak, norma, agama dan worldview yang telah dianutnya. Sekilas kita melihat berbagai syariat yang berbeda namun pada hakikatnya  ia mempunyai satu esensi pada nilai esoterisnya.

Cinta itu mendorong manusia untuk berbuat   yang berarah pada keindahan.  Namun bukan cinta namanya jika tak bertanggung jawab. Segala sesuatu yang kita lakukan tanpa  dasar cinta maka ni’mat yang kita rasakan selama ini ,seketika kan menjadi  niqmah (bencana).

Ketahulaih bahwa dosa itu  sendiri lahir dari  pribadi-pribadi yang telah  sengaja mengabaikan  bahkan melallaikan  sikap tanggung jawab dalam diri  mereka…. Bersambung…

The narsis biru

Image

KONSEP “FANA” DALAM TASAWWUF

BAB1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Berawal dari mata kuliah tentang pengantar Tasawuf yang membimbing saya untuk berpikir sembari melambaikan salam perkenalan dengan kajian ini bagi saya pertamakali memasuki gerbang kajian tentang studi pengantar tasawuf adalah sesuatu yang baru dan asing. Untuk itu step by step pertanyaan demi pertanyaan terbesit dibenak, apakah Tasawuf itu?. Niat saya untuk merangkai tulisan ini sebenarnya berawal dari adanya rasa penasaran sebuah pada sebuah pernyataan bahwa seorang sufi jika sudah sampai pada maqam ma’rifat tinggi akan sampai pada Tuhannya dengan tersingkapnya tirai dan tidak ada sesuatu pun yang bisa dengan menghalangi antara seorang sufi yang suci dengan Tuhannya melalui istilah Fana (penyatuan /lebur).Nah, dari tema tersebut muncul pertanyaan apakah penyaksian tersebut sama dengan kita menyaksikan manusia biasa atau ada makna yang tersirat dibalik ini. Teringat dengan kisah ulama Nusantara yang menganut Tasawuf falsafi ibnu Arabi yaitu Hamzah Al Fanshuri yang juga menganut konsep Fana akhirnya mendapat kritikan dari berbagai pihak pihak Abdu Rauf sinkile dari Aceh. Pertentangan ini mulai menajam dan meruncing saat karya monumental Hamzah Al Fansuri berupa tafsir itu dibakar karena dianggap menyimpang dan bertentangan dengan ajaran islam yang mirip dengan Al-Ghazali (fana) terkadang lupa dengan dirinya(maka dikala mereka berkata-kata dianggap aneh), yangtersisa hanya puisi itu sampai saat ini dalam hal tasawwuf. Singkat kata pembahasan fana ini fana harus diluruskan jangan sampai dipahami oleh masyarakat awam dengan pemahaman yang awam pula. Karena saya pun kadang mengalami kebuntuan dalam berfikir bahkan sempat negative thinking bahwah mungkin karena inilah orang menjauhi tasawuf karena kajiannya terlalu tinggi dan untuk mempelajari tasawuf dan sampai pada sebuah maqom itu hanyalah para Sufi yang suci dan terkadang hal-hal yang di ungkap dalam kajian ini di luar jangkauan otak manusia. seperti apa penjelasan perkenankanlah saya menyampaikan dari apa yang saya dapat penjelasan dari berbagai referensi. Dengan Judul “Meluruskan pemahaman konsep Fana dalam Tasawuf”.
B. Rumusan Masalah
• Apa yang dimaksud dengan Konsep Fana ?
• Bagaimana kita sampai pada kefanaan ?
• Bagaimana gradual konsep fana dalam Tasawuf?
• Bagaimana pendapat kaum Sufi mengenai konsep Fana ini?

C. Tujuan dan Manfaat
• Untuk menambah khasanah keilmuan dan wawasan tentang salah satu tema tasawuf
• Mencoba meluruskan suatu pemahaman yang sering kali disalah tafsirkan oleh orang awam.
• Untuk mehahami pemikiran kaum sufi tentang Konsep kefanaan ini.

BAB 11
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fana
Fana dari segi Etimologi adalah berasal dari kata Faniya yang berarti Musna atau lenyap. AlJunaid menngartikan hilangnya kesadaran kalbu dar hal-hal yang bersifat inderawi karena ada sesuatu yang dilihatnya.
Fana’ dalam glosarium Tasawuf merupakan peluruhan atau person kemanusiaan dalam (kebersatuan dengan) Allah. Inilah “hilang”-nya batas-batas individu dalam keadaan keastuan. Fana ini sebagai tahap akhir dalam kenaikan (mi’raj) menuju Allah Subhana wa Ta’ala.
Menurut Abu Yazid, manusia pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksisistensi sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya ( fana’an nafs). Fana’an nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaanya dan menyatu kedalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Zat Tuhan.
Menurut Junaid, Al- Fana dalam pengertiannya yang umum yaitu “Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan berani karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.
Amir bin berkata : aku tidak peduli apakah aku melihat seseorang perempuan ataukah sebuah dinding (dia menganggap sama atau tidak sama sekali terhadap apa yang dihadapinya). Tidak ada jalan sampai kepadanya kecuali melalui ittikad bahwa semua hal adalah hak Alllah Ta’ala semata-semata, inilah yang dikehendaki dengan terlingdung dosa ( Al’ishmah). Sabda rasululullah :
كنت له سمعا وبصرا
“ Aku menjadi pendengaran dan penglihatan bagi-Nya.
Dibalik Fana ada pula istilah Baqa, tingkatan spiritual yang ada pada para Nabi, mereka bersifat tenang apa-apa yang menimpa mereka tidak dapat mencegah dari kesibukan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka kepada Tuhan dan tidak dapat mencegah anugerah Allah yang diberikan kepadanya. Sebagaimana firman Allah dalam (QS.Al–Maidah 5:54) ” … itu semua merupakan keutamaan (anugerah) Allah yang didatangkan kepadanya hamba-Nya”. Dari fana’ yang mereka kehendak yaitu seseorang akan fana ( lenyap) dari sifat-sifat kemanusiaanya yang ada pada dirinya dan akan kekal dengan sifat-sifat yang Maha Haq.
Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur (fana) itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi dan inderawi, sedangkan materi (jasad) manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. jadi yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, sebagaiman penjelasan Al-Qusyairi.
B. Proses dalam konsep Fana
Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang yaitu:
1. al-Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada suatu titik sehingga ia melihat dengan perasaanya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa As diTursina.
2. Sathohat secara etimologi berarti gerakan, sedangkan dalam teminologi tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar diluar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam sakar.
3. Zawal Al-Hijab, nampaknya diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan (al-Mukasyafa).
4. Ghalab al-syuhud diartiakan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya seutuhnya.
Dalam literatur Arab ditemukan pengertian al-fana sebagai “ The Passing away of the sufi from his Phenomenal exsistence, involves baqa, the contnouance of his real exsisitence. Apabilah dilihat dari sudut kajian psikologis, terlihat suatu karasteristik mistik, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, dimana seseorang(sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ke-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demimikian terlihat, bahwa fana adalah kondisi intuitif dimana seseo rang untuk beberapa saat kehilangan kesadaran terhadapnya egonya.
Melalui penjelasan diatas itulah sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Al- Qusyairi diatas bahwa fana itu adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran dan . Hanya satu daya yang mendonminasi dirinya yakni daya Dzat Mutlak. yang disebut fana dari Makhluk. Oleh karena sifatnya yang demikian maka fana bersifat incidental, artinya tidak berlangsung secara terus menerus. Menurut penganut paham ini kemampuan itu adalah karunia Allah sehingga tidak dapat diperoleh melalui latihan bagaimanapun.
Melalui penyucian jiwa tersingkaplah cahaya dan kecemerlangan ini menghapus semua batas kemanusiaan yang telah menghalangi dari menyaksikan diri hakekat Tuhan mereka. Akhirnya mereka pun menyadari bahwa diri mereka tidak ada. Alih-alih mereka sendiri yang tidak memiliki realitas berarti, hanyalah Allah yang memiliki realitas hakiki. Dan penafsiran Rumi atas ucapan ekstase Al-Hallaj, inilah maqam ketika ia mengatakan” Ana Al-Haqq”
Istilah kefanaan berasal dari ayat Al-Qur’an “ Segala Sesutu diatasanya (bumi )akan fana dan abadilah wajah Tuhanmu, pemilik keagungan dan kemulian”( Qs. Ar-Rahman [55]: 26-27).
C. Kemoderat Sufi dalam konsep Fana
Dalam perkembangannya yang awal, nampaknya ada dua aliran al¬-Fana satu yang aliran yang ber paham moderat yang diwakili oleh al-Junaid al- Baghdadi, biasanya disebut
• Fana fit-tauhid yang merupakan seorang yang larut dalam makhrifatullah dan ia tidak menyadari segala sesutau selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid.
• Aliran fana yang kedua dipelopori oleh Abiu Yazid Al-Busthami yang mengartikan fana sebagi sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan. Namun sebelum masa Busthami fana diartikan sebagai pengabdian kualitas diri. Tetapi setelah mun culnya Ibnu Arabi devenisi kemudian berubah.
D. Konsep Fana Menurut Ibnu Arabi.
Ibn Arabi telah mendefenisikan fana ke dalam dua pengertian yakni:
1) Fana dalam pengertian mistis, yaitu “ Hilangnya “ ketidaktahuan dan tinggalah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia “menyadari “non eksistensi esensial itu sebagai sutu bentuk.
2) Fana dalam pengertian metafisika, yang berarti hilangnya bentuk-bentuk” dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu”. Maksudnya disini adalah menghilangnya suatu bentuk adalah”fananya” bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain. oleh karena itu kata Ibn arabi fana yang benar itu adalah hilangnya diri dalam keadaan pengetahuan intuitif dimana kesatuan esensial dari keseluruhan itu diungkapkan.
E. Relasi fana dengan Insan kamil
Menurut Ibn Arabi manusia ialah tempat tajalli yang paling sempurna karena manusia adalah kaun al-jami’ merupakan sentral wujud, yaitu sebagai mikrokosmos yang tercermin pada sifat ketuhanan pada manusia terhimpun rupa rupa Tuhan dan rupa alam, dimana substansi Tuhan dengan segala sifat dan asmanya tempat padanya. Manusia disebut mikrokosmos karena dia adalah roh semesta alam (makro kosmos). Insan kamil adalah hanya Nur Muhammad yaitu roh Ilahi yang ditiupkan kepada Nabi Adam a.s.Ia adalah esensi kehidupan dan awal manusia, oleh karena itu insan kamil adalah al-haqiqih Muhammadiyah. Dan untuk mencapai maqam ini harus melalui dua tahap :
1. Fana fillah, sirna di dalam wujud Tuhan hingga kaum sufi menjadi saru dengan-Nya.
2. Baqa’ Kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam pandangannya Tuhan ada pada kesegalaan ini. yang diperoleh melalui pengembangan daya intuisi.
F. Gradual konsep Fana Ibn Arabi
Untuk sampai pada tingkatan fana ini tentunya melalui sebuah proses panjang seperti tazkiyatun Nafs, dengan meningkatkan ibadah spiritual, mulai dari ibadah secara Syariat, thariqah dan maqam yang paling tinggi yatu Ibadah yang hakikat. Nah dari sinilah seorang sufi dapat mencapai kefanaan dengan karunia Tuhan. Ibnu Arabi berpendapat bahwa ada tujuh tahap. Berikut tahap-tahapannya.
1.Fana’an Ma’ashi, meninggalkan dosa.
2.Menjauhkan diri dari semua perbuatan apapun. Artinya seorang sufi harus mampu menyadari bahwa hanya Tuhan satu-satunya ”agen” dan mutlak dialam ini.
3. Menjauhkan diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen (mumkinul wujud). Si Sufi harus menyadari bahwa segala macam bentuk-bentuk yang ada, sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan.
4. Menyingkir dari personalitas dirinya sendiri. menyaring non eksistensi dari fenomena dirinya sendiri serta “ ke- Tuhan-an” dari substansi yang tidak bisa berubah.
5. Fana An Kulli Al-Alam, meninggalkan seluruh alam, yakni mengabikan dan mengehentikan penglihatan terhadap aspek fenomena dunia dan penyadaran terhadap aspek nyata merupakan hakikat dari fenomena.
6. Menghilangkan kesadaran terhadap diri sendiri sebagai seorang seorang “pelihat” pemirsa, tetapi Tuhan itu sendiri yang melihat dan yang dilihat, ia dilihat dari manifestasi-manifestasinya.
7. Memandang Tuhan sebagai Esensi alam ketimbang terhadap sebab dari alam itu. Sufi itu tidak memandang alam ini sebagai suatu akibat dari sebab tetapi sebagi suatu realitas dari penampakan.
Melalui pemjelasan tersebut ibn Arabi mempunyai tujuan akhir dari tasawuf yaitu pencapaian” pengetahuan sejati” dan kebahagiaan puncaknya sebagai penyadaran melalui intuisi mistik, yakni kesatuan esensialnya dengan Tuhan. Apa yang diperolehnya dari pengetahuan sejati( ilm alyaqin) adalah esensi dari kepastian( ainul yaqin). dan pada saat dia mentrasendenkan tahap dualitas dari pemberitahuan dan yang “diketahui” ia tiba di di puncak kehidupan mistikal pada saat mana ia saling berhadapan dengan Tuhan( haqqul Yaqin).
G. Tingkatan Fana dalam Tasawuf
a. Ittihad
Apabila seorang Sufi telah sampai kepada fana yang paling di atas, maka pada saat itu ia telah menyatu dengan Tuhan. sehingga wujudiyahnya kekal atau al- baqa. Didalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan Ittihad.
Menurut Bayazid menyebut ittihad sebagai tajrid Fana al Tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu ataupun. Bahkan beliau menjelaskan dengan puitis. Kalimat Ittihad berarti hilangnya pelanggaran dan pelaksanaan( syariat), hilannya bagian jiwa dari dunia dan tetapnya keinginan terhadap akhirat, hilangnya sifat-sifat tercela dan tetapnya sifat-sifat terpuji, hilangnya keraguan dan tetpnya keyakinan serta hilangnya kelalaian dan tetapnya zikir kepadad Allah swt.
Syair ini dimaknai diawal ungkapnnya itu melukiskan alam Makrifat dan selanjutnya memasuki alam fana’an Nafsu. sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Bahkan Bayazid memperjelas lagi berkata “semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-ku Aku pun berkata: Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku.
Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudnya bukan bayazid pribadi. Dialog yang terjadi pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan Fana’an nafs. Ketika itu hanya ada satu wujud yaitu Tuhan, sehingga hakikatnya ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Bayazid menjelaskan : Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana. Oleh karena itu Bayazid tidak mengaku dirinya Tuhan sebagaimana Fir’aun, tetapi pada proses Ittihad ini jiwa manusia kehadirat Ilahi, Bukan melalui reinkarnasi.Dalam kitab, al-hawi’ al-fatawi ketahuilah bahwa dalam ungkapan sufi terdapat lafal ittihad sebagai syarat untuk menunjukkan hakikat tauhid (mengetahui yang satu dan Esa). Dan meskipun sebagian kalangan menganggap Bayazid ini sesat, tapi menurut para urafa’ sebagai seorang yang mengalami kemabukan mistis(sukr) dia mengungkap kata itu pada saat ia ekstasi (keadaan meluapnya spritual). Bayazid mempunyai tujuan adalah hidup Zuhud yang terbagi pada beberapa fase: Zuhud dunia, Zuhud akhirat,dan Zuhud pada selain Allah. Pada fase ketiga inilah yang kondisi mental menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa kecuali Allah (fana an nafs). yaitu hilangnya eksistensi diri pripadi sehingga ia tidak menyadari lagi eksistensi jazad kasarnya karena kesadaranya telah menyatu kepada Allah. Dan melalui penjelasan ini penulis ingin menegaskan bahwa yang menyatu adalah iradahnya dan bikan Menyatui dengan wujud Tuhannya. Dan beliau juga mengatakan perinta fana itu ia bermimpi dan bertanya dalam mimpinya: “Tuhanku apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Tuhan Menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah!”. serta dalam Syairnya mengatakan:” Aku adalah rahasia dari yang Mahabesar, bukanlah yang Maha besar itu aku,aku hanya salah satu yang benar, oleh karena itu bedakanlah diantara kami”. Dan beliaulah yang membawa paham iitihad yang dicapai melalui pintu fana dan diikuti baqa’.
b. Hulul
Hulul adalah tingkatan tinggi dari paham ittihad yang ditampilkan pertama kali oleh Husein Ibn Mansur Al-Khallaj, yang meninggal karena pahamnya yang ia sebarkan dipandang sesat oleh pengusa disaat itu. Pengertian al-hulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersikan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana atau ekstase. Sebab menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitun sifat ke-Tuhan-an ( Lahut) dan sifat kemanusiaan ( Nasut). Pada aspek lahut terdapat keimanan serta pengetahuan tentang kebaikan dan keburukann di dalam ruh. Sedangkan Aspek nasut dalam konteks ini adalah membuat manusia lupa, yang cenderung menutupi atau melenakan manusia tentang ilham, yakni keimanan dan kebenaran yang ada di dalam ruh. Sebuah ungkapan “Summiyah al-insanalinisynihi, yakni (insan) dinamai manusia disebabkan kkecenderungan untuk lupa(Nisyan). dan jika tidak secepatnya dibunuh, ia akan terus membuta kita lupa.
Apabila seseorang dapat menghilangkan sifat-sifat nasutnya dan mengembangkan sifat-sifat lahutnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan fana terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud Hulul. Teori lahut dan Nasut berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai Copy dari diri-Nya¬¬(Shuroh min nafsi) dengan segenap sifat dan kebesaranya, sebagaiman dalam Syairnya”
Maha Suci Dzat yang menampakkan nasutnya * Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata * Seperti manusia makan dan minum layaknya.
Beliau juga memahami surat al-Baqarah ayat 34 adanya Allah agar Malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga Ia harus disembah sebagaimana penyembah Allah. Sebagaimana ungkapannya berikut:
Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu* Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, terusik pula aku* Karena itu Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang Kurindu, dan yang ku rindu Aku jua* Kami dua jiwa padu jadi satu raga.
H. Fana dalam pehamanan Hindu Dan Budha
Dalam konsep agama budha dan hindu ada istilah yang disebut “mokṣa” Artinya ialah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan. Dalam Hinduisme, atma-jnana (kesadaran akan “sang diri”) adalah kunci untuk meraih moksa. Umat Hindu boleh melakukan suatu bentuk dari beberapa macam Yoga Cara mencapai moksa yang dianjurkan oleh tiga tradisi tersebut bervariasi.
Pertama,Adwaita Wedanta (pendirinyaAdi Shankara) menekankan Jnana Yoga sebagai cara utama untuk mencapai moksa. Melalui pemilahan antara hal yang nyata dan yang tak nyata, sadhaka (praktisi spiritual) akan mampu melepaskan diri dari jerat ilusi dan menyadari bahwa dunia yang teramati sesungguhnya dunia adalah ilusi, fana, dan maya, dan “kesadaran” tersebut merupakan satu-satunya hal yang nyata, yaitu Persatuan Atman (percikan Tuhan dalam diri) dan Brahman(esensi alam semesta). Kedua Tradisi non-dualis memandang Tuhan sebagai objek kasih sayang yang paling patut disembah, misalnya personifikasi konsep monoteistik akan Siwa atau Wisnu.
BAB 111
PENUTUP
Kesimpulan
Fana merupakan, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, dimana seseorang(sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ke-aku-annya serta alam sekitarnya. Pada dasarnya Bayazid tidak mengaku dirinya Tuhan sebagaimana Fir’aun, tetapi pada proses Ittihad ini jiwa manusia kehadirat Ilahi, Bukan melalui reinkarnasi. Apabila seseorang dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan(nasut) dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiatnya(lahut) melalui fana maka Tuhan Akan mengambil tempat dalam dirinya dan fana terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud Hulul. Dan melalui penjelasan ini penulis ingin menegaskan bahwa yang menyatu adalah iradahnya dan bukan Menyatui dengan wujud Tuhannya. Kalimat Ittihad berarti hilangnya pelanggaran dan pelaksanaan( syariat), hilannya bagian jiwa dari dunia dan tetapnya keinginan terhadap akhirat, serta hilangnya kelalaian dan tetapnya zikir kepadad Allah swt. Begitu pula konsep fana dalam agama budha dan hindu ada istilah yang disebut “mokṣa” Artinya ialah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan. dengan menyadari bahwa Tuhan bersifat tak terbatas dan mampu hadir dalam berbagai wujud, baik bersifat personal maupun impersonal. Alhasil, mengalami fana atau tidak, punya keramat, seorang sufi hanya bisa dibilang sebagai sufi kalau ia menanamkan pada dirinya akhlaqul karimah. dan memberi manfaat besar dan concern pada sesamanya. Iman Khomeini tak perna menyebut dirinya mengalami fana apalagi keramat justru ia sering mencela dirinya dan erus berdoa atas banyak kekurangan kepada Allah Swt.

DAFTAR PUSTAKA
 Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf . Bandung:Penerbit Arasy Mizan. 2005
 Chittick, William C. TASAWUF di Mata Kaum Sufi. Bandung: Penerbit Mzan. 2002
 Jumantoro, Totok dan Munir Amin, Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf. Jakarta: Penerbit:Amzah.2005

 Muthahari,Murthada. Mengenal Tasawuf .Jakarta: Penerbit Pustaka Zahra. 2002
 Munir, Amin Samsul .Ilmu Tasawuf. Jakarta: Penerbit Amzah,2012)
 Muhammad al-kalabadzi, Abu Bakar. Ajaran-ajaran Sufi. Bandung: Penerbit Mizan.1995
 Nata, Abuddin.ilmu Kalam, Filsafat Dan Tasawuf. Jakarta: Penerbit RajaGrafindo. 2001 Cet.5
 Qadir Isa, Abdul. Hakekat Tasawuf. Jakarta: Penerbit Qisty Press 2005)
 Siregar, Rivay. Tasawuf Dari sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada.2002. cet-2
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Sanskerta: diakses 15-06-2013)
 Nasr, Sayyed Hossein. Ensiklopedia Tematis Spritualitas Islam. Bandung:Penerbit Mizan. 2003.Cet.1.

Dina Y. Sulaeman

About Life, Parenting, and Motherhood

Goresan Pena

scribbling

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

milahidayah

Anugerah pancaran Cahaya Ilahi

LINGKAR PENA DAMAYANA

INDAH DAMAYANA

Butiran Hikmah's Blog

This WordPress.com site is the bee's knees

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.

Dina Y. Sulaeman

About Life, Parenting, and Motherhood

Goresan Pena

scribbling

Modesty - Women Terrace

My Mind in Words and Pictures

milahidayah

Anugerah pancaran Cahaya Ilahi

LINGKAR PENA DAMAYANA

INDAH DAMAYANA

Butiran Hikmah's Blog

This WordPress.com site is the bee's knees

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.